Musik underground saat ini sudah banyak mengalami pergeseran paradigma yang cukup signifikan. Berawal dari identifikasi komunal para “
undergrounders” di tahun 80an, kini komunitas tersebut cenderung lebih individualistik. Ironisnya, idealisme komunal dan anti-kemapanan kini bergeser menjadi hubungan mutualisme dan negosiasi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Indikatornya terlihat dari banyaknya band indie yang masuk ke jalur komersil, booming usaha distro dan label yang mengubah wajah sangar underground menjadi potensi bisnis yang menggiurkan. Saya saja sekarang sudah tidak sanggup membeli produk-produk distro di Bandung karena terlalu mahal. Namun musibah hari minggu waktu silam di bandung yg memakan 11 nyawa, semakin mempertegas indikasi pergeseran paradigma underground: pengejaran profit semata oleh panitia melalui penjualan ticket yang tidak dibatasi hingga masuknya peran sponsorship untuk mendukung konser tersebut.
Meskipun tidak terlalu mengubah karakteristik bermusik mereka di panggung, namun pergeseran paradigma ini sebenarnya cukup disayangkan oleh sebagian pihak. Terutama para undergrounders konservatif yang masih menginginkan semangat rebel, anti-kemapanan dan komunalisme tetap dipertahankan di komunitas ini. Tapi apa daya, alih-alih memberikan teladan bagi generasi berikutnya, ternyata banyak dari mereka pun telah keluar dari jalur underground yang sesungguhnya karena kebutuhan finansial. Inilah yang menjadi paradoks bagi generasi underground yang baru.
Hal ini kian mempertegas kita bahwa prinsip apa pun yang kita anut (atau kita kultuskan) sebagai manusia biasa yah tetap saja orang juga butuh makan, cing! Pemenuhan kebutuhan ekonomi adalah hal mutlak yang harus dipenuhi oleh manusia untuk bertahan hidup (survival). Melihat paradigma underground yang sudah bergeser tadi, suka atau tidak suka, sekarang hanya tinggal menunggu waktu saja hingga saatnya cita-cita gerakan underground tadi berubah dari semangat anti-kemapanan menjadi semangat konsumerisme.